Tuesday, October 22, 2013

Learn to Play Volleyball

Dari judul sudah jelas tergambar bahwa Red gak bisa main dan benci banget sama olahraga bola voli. Sama seperti renang, voli adalah mata kuliah cabang olahraga dengan hasil nilai C saat Red di Universitas. Untuk servis bawah aja, kadang bisa kadang nyangkut di net. Apalagi servis-servis yang lain, sebut saja servis atas dan jumping serve. Pastinya gak bisa sama sekali. Hahaha...

Suasana Latihan di Nanga Lauk
Nah, cerita berawal saat Red jadi Pengajar Muda di Kapuas Hulu. Penduduk Desa Nanga Lauk yang Red tinggali ternyata seneng banget Main voli. Tak ada sore hari terlewat tanpa main voli. Dan bisa-bisanya mereka maksa Red untuk ikut main voli suatu sore. Yaaa, terbukalah satu aib jaman kuliah... Jago banget bikin tim kalah kalau main voli. Melihat gurunya yang tidak berdaya ini, anak-anak pun merasa tergerak dan bertekad untuk mengajarkan Red main voli. Terharu deeeh... (lap air mata, kemudian buang ingus. Srooot).


Moment latihan tiap sore hari menjadi agenda yang selalu Red tunggu. Lapangan voli tanah di depan gedung sekolah menjadi saksi perjuangan Red untuk bisa memukul bola tanpa nyangkut di net saat servis. Tanpa lelah mereka melatih Red untuk menerima, mengarahkan sampai nyemes bola. Sungguh besar jasa mereka... Jadilah, hampir setiap sore Red nongkrong di lapangan voli untuk bermain 1 sampai 2 set. Kenapa gak lebih? Huhuhu, main 2 set aja tangan udah bengkak-bengkak. Apalagi lebih... Ya, setidaknya pulang dari Nanga Lauk Red sudah bisa melakukan servis bawah voli, wkwkwk...


My Twin Volleyball Mate
Sekembalinya dari tanah Kalimantan. Pilihan mengajar memang sulit untuk ditolak. Red kembali menjadi Physical Education teacher alias guru Penjas di Sekolah Bina Nusantara Serpong. Perusahaan ini memiliki pekan olahraga karyawan, sebut saja "porsekari" yang mempertandingkan beberapa cabang olahraga. Salah satunya adalah bola voli. Eaaa, merasa tertantang nih ceritanya. Masuklah Red ke dalam tim voli yang didominasi guru ekspatriat dari Filipina. Berbekal bisa servis melewati net (kadang-kadang itu juga), Red rajin latihan tuk menghadapi pertandingan... Alhasil dari 5x tanding, cuma 1x kalah dan berhasil membawa pulang piala juara 2 Binus porsekari 2013 untuk voli putri. Walaupun tetep aja sih Red jadi anak bawang alias cadangan abadi di tim. Bahkan tiap servis bola saat pertandingan, kembali selalu nyangkut di net. Hahaha! But i really enjoy it!!! Thank you Nanga Lauk children. It's your hard work, to make me enjoy the volleyball games. ;)

Wednesday, October 9, 2013

Liverbird Upon My Chest!

Yeah, judul postingan ini adalah salah satu lagu kebanggaan supporter Liverpool FC. Liverbird adalah burung yang terpampang di logo klub dari Merseyside tersebut. Jadi, afdol banget lah kalau pakai jersey The Reds sambil nyanyiin lagu itu pas nonton Liverpool.

Walaupun hal itu tidak terjadi pada Red saat Liverpool datang ke Indonesia. Red datang ke stadion Gelora Bung Karno tanpa memakai jersey Liverpool FC. How come??? Hehehe, yaaa memang Red engga punya jersey yang layak. Ada dua jersey Liverpool FC yang Red punya, tapi dua-duanya hasil berburu di pasar malam dengan harga 25 dan 30 ribu perak. Hahaha... Alhasil Red bakal diomelin habis-habisan sama orang yang nemenin nonton pertandingan, kalau jadi pakai jersey made in pasar malem itu.

Between Reina and Sturridge

Akhirnya Red hanya memakai jaket dan jilbab merah saat menghadiri pertandingan Liverpool FC vs Indonesia XI. Thank's God, I have a scarf  from Ben (my cousin). Sepupu Red yang orang Aussie sempat mengunjungi kota Liverpool, dan membawakan syal khusus buat Red dari sana. Huhuhu... Tetep bangga dong, walaupun tak punya jersey, tapi scarfnya asli dari kota Liverpool :D

Menyesal karena ngga punya waktu untuk ikut nyambut kedatangan Steven Gerrard dkk di Bandara, hadir di fans meeting atau sekedar berburu tandatangan. Namun lumayan puas bisa nonton Raheem Sterling main di depan mata secara langsung, ga pake halangan layar kaca. Amazing bisa ngerasain atmosfer supporter bak di Anfield, bedanya cuma orang-orang sekitar stadion yang bukan bule. Seluruh stadion puennnuh sama warna merah. Yah, bisa dimaklumi sih karena walaupun kita ke stadion dengan jersey timnas Indonesia, warnanya merah juga toh.

Sepanjang pertandingan banyak terdengar shout Liverpool, Liverpool, juga lagu kebangsaan "You'll Never Walk Alone" dan Stevie G's song. Benar-benar berasa banget atmosfer nonton bolanya. Hahaha... Duduk di kategori 2 belakang gawang, merupakan satu anugerah tak terkira karena aksi gol Sterling terlihat sangat jelas. Ya, setelah Michael Owen dan John Arne Riise, Raheem Sterling menjadi pemain Liverpool favorit Red selanjutnya. 

Liverpool FC menjadi klub sepakbola yang berbeda dengan klub-klub top lainnya karena lebih banyak menjalankan misi sosial pada tour pra musimnya. Saat klub lain mengadakan coaching clinic dengan anak-anak yang harus rela membayar mahal, Liverpool mengadakannya di salah satu SD Negeri di Palmerah. Mereka juga mengadakan pelatihan bersama anak-anak Special Olympic Indonesia (SoIna). What a great football club! Ga heran dong, Red bangga banget jadi Liverpudlian sejak tahun 1998, jaman Red masih SMP. Yuhuuu... YNWA!!!

Monday, June 24, 2013

Mom & Daughter's Trip to Kelor, Rambut & Untung Jawa Islands

Red & Mom

Berawal dari tak bisa hadirnya Yudha (adik Red) tuk memimpin perjalanan, akhirnya ia meminta Red meng"handle" one day trip special kali ini. Apa yang meambuatnya spesial? Tujuan! Ya,biasanya one day trip dari SmarTrip (Yudha's trip organizer) bertujuan ke pulau Kelor, Cipir dan Onrust. Namun kali ini ada 2 tujuan berbeda yaitu Rambut dan Untung Jawa yang notabenenya belum pernah Red injak. Jadi, rute trip ini adalah Kelor, Rambut dan Untung Jawa. Selain tujuan, hal spesial lain adalah jumlah peserta yang sedikit. Hanya 8 orang, dan 2 orang cancel. Jadilah hanya 6 orang yang berangkat. Ditambah 1 orang rekan Yudha bernama Cuppy dan seorang ibu yang adalah inang kandung Red dan Yudha. What a private trip!!!
Berhasil mengajak Mom merupakan kebahagiaan tersendiri. Baru Kali ini berasa backpackeran banget bareng beliau, yang mesti naik turun angkot, nyebrang laut, dan tracking di pulau walaupun gak sampe ngos-ngos an.
Yeah, and the trip begin! Jam stengah 8 pagi Red & Mom sudah sampai rumah Bu Haji si pemilik kapal. Sudah datang juga 4 orang peserta rombongan Opal dan Cuppy. Pukul 8, 2 peserta sisa pun hadir dan tentunya kapal siap untuk diberangkaaatkan :D
Kapal berangkat diantar canda tawa dari para peserta trip dan siap tempurnya bapak pengemudi, sambil si bapak bercerita tak bisa membawa anaknya yang baru saja pulang bekerja di pabrik. Ya, biasanya memang si bapak membawa serta anak lelaki sulungnya sebagai kawan mengemudi. Ombak cukup bersahabat dan mentari pun masih hangat saat perahu membawa kami ke pulau Kelor, tujuan pertama hari itu. Melewati pulau Bidadari, beberapa orang langsung menangkap lanskap di sekitar dengan kamera.
Pantai Pulau Kelor
Bebatuan pinggir Kelor

Merapat di Pulau Kelor, ternyata sedang ada pengerjaan dermaga di sana. Pulau Kelor memang belum memiliki dermaga, jadi bila dikunjungi agak siang kapal akan sulit merapat ke pulau karena ombak mulai besar dan tak adanya landasan untuk bersandar (tugas dermaga). Tiang-tiang dermaga sudah berserakan, seakan siap untuk ditegakkan. Tak ingin mengganggu pekerjaan para pekerja dermaga, kami pun mulai berkeliling pulau. Semua kamera sudah bersiap di tangan tuk mengambil pose-pose para peserta dan keindahan yang tersedia di sana. Hal menarik paling utama di pulau ini adalah bangunan yang dulunya berfungsi sebagai benteng. Bangunan ini masih berdiri kokoh dan seakan menunjukkan kegagahannya dengan warna merah bata dari batuan yang menyusunnya. Selain benteng, pinggiran pantai Kelor penuh dengan bentukan-bentukan bangunan kecil penahan abrasi, terdapat juga dinding-dinding seperti batuan di benteng yang mengelingi pantai. Sekitar pukul 10 saat itu, langit mulai gelap dan mendung. Kami semua sepakat menuju ke kapal tuk menuju ke pulau selanjutnya, Rambut!
Well, awan yang semakin mendung pun mengajak ombak untuk lebih meninggikan gelombang. Perjalanan ke pulau Rambut pun jadi penuh goyangan akibat hantaman ombak ke kapal. Semua peserta sudah bersiap memakai pelampung oranye yang memang disediakan. Menjaga kemungkinan buruk kapal terbalik dihantam ombak. Makasih Tuhan hal itu tidak terjadi. Skitar stengah jam perjalanan penuh ombak, kapal berhasil merapat ke pulau Rambut.
Papan "selamat datang" di Untung Jawa 

Kedatangan kami di Pulau Rambut disambut seorang petugas yang langsung menanyakan "simaksi". Pulau Rambut memang masuk dalam suaka margasatwa yang merupakan salah satu kawasan konservasi. Jadi, untuk memasukinya, pengunjung seharusnya mengurus surat izin masuk kawasan konservasi (simaksi). Yaaa, walaupun sebagian besar pengunjung biasanya hanya membayat retribusi sebesar Rp. 3000 per kepala di tempat. Tidak adanya simaksi yang kami bawa, akhirnya kami pun ditolak masuk pulau itu. Huuuft, ternyata... Sedang ada patroli dari polisi hutan yang memang selalu memastikan adanya simaksi dari para pengunjung. Yah, mau tak mau kami pun melangkah meninggalkan Pulau Rambut, petugas menyarankan kami mengunjungi Untung Jawa terlebih dahulu sambil menunggu polhut-polhut itu pergi. Oooke...
Bergegas kami menuju pulau terdekat, Untung Jawa. Red, Mom, Chuppy, dan 2 peserta lain makan siang dengan ikan bakar dan Cumi di pinggir pantai. What a nice beach holiday! Pulau Untung Jawa merupakan pulau yang padat prnduduk dan terdapat beberapa spot pantai. Sayangnya Red tak sempat mengambil foto pantainya karena keasyikan menikmati makan siang di sana. Ada pula suguhan barisan pohon bakau yang terkenal dapat menghalangi laju abrasi. Setelah makan, kami menjepret beberapa foto diri, dan saat giliran Red... Kaki terpeleset lumut licin di atas batuan yang Red pijak. Tidaaaak! Celana pun basah sebagian! Huuuh...
Di menara P. Rambut

Puas bersantai di Untung Jawa, kami memutuskan kembali lagi ke Pulau Rambut untuk membayar rasa penasaran. Tentunya dengan kepastian informasi bahwa polhut-polhut itu sudah tidak di sana. Menapak di Pulau Rambut, kami kembali di sapa petugas yang bernama Pak Budi dan langsung diarahkan pada guide yang akan menemani kami trekking ke menara Pulau Rambut. Wajah guide kami tak asing buat Red, karena memang sebelumnya pernah bertemu di suatu forum yang membahas keanekaragaman hayati dunia. Chotib, nama pemandu kami hari itu. Chotib membawa kami ke spot yang paling nyaman untuk memantau burung. Yup, tempat ini memang disebut Pulau Burung. Kurang lebih 50 spesies burung menghuni daratan ini, belum lagi burung-burung imigran dari Australia yang mencari tempat hangat saat suhu mendingin di benua asalnya. Bangau bluwek contohnya. Selain burung, pohon pulau banyak digelantungi kalong dengan ukuran besar. Trekking dilanjutkan ke menara. Letaknya hanya sekitar 10-15 menit perjalanan santai dari dermaga Rambut. Menara Pulau Rambut cukup untuk ditempati maksimal 15 orang. Dari sini dapat terlihat bagian atas pulau dan pemandangan indah pantai, laut, juga ratusan burung beterbangan. Menarik, satu kata yang cukup menggambarkan trip kali ini. Thank's God telah sekali lagi memberi kesempatan mencicipi manisnya salah satu pulau di Kepulauan Seribu ini. Apalagi ditambah Red bisa menikmati ini semua bersama Mom tercinta ;)
Bangau Bluwek
View dari puncak menara Pulau Rambut
Peserta yang bergabung dalam trip
 

Saturday, April 28, 2012

Nanga Bungan, gate of Betung Kerihun National Park

Ada dua Taman Nasional di Kapuas Hulu, tempat tugas Red setahun ini. Yang pertama adalah Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang sudah Red kunjungi bulan Desember 2011 lalu. Nah satu lagi adalah Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) yang letaknya di hulu Sungai Kapuas. Dari pertama datang selalu penasaran dengan bentuk Taman Nasional ini. Ditambah seorang rekan yang pernah meliput sebuah acara televisi di TNBK selalu mengompori Red untuk tak lupa berkunjung ke sana sebelum masa penugasan selesai.

Thx to God, kesempatan masuk ke kawasan TNBK datang sehari setelah Red ulang tahun. It’s like a gift from The Lord . Istimewanya kunjungan TNBK ini dilakukan bersama 10 rekan Pengajar Muda yang bertugas di Kapuas Hulu plus 1 orang officer yang sebenarnya sedang ditugaskan untuk mengevaluasi kinerja kami. Hehehe, jatuhnya jadi kunjungan kerja sih, karena selama di sana pun aktivitas kami tak jauh dari meeting dan refleksi. Namun, apapun itu namanya yang jelas Red sudah menginjakkan kaki di kawasan TNBK (tetep maksa diakui udah ke sana!). 

Riam Sungai Sekitar Desa Bungan
Desa kunjungan serombongan pasukan ini bernama Nanga Bungan. Berlokasi di hulu sungai Kapuas. Juga tempat diletakkannya salah seorang rekan Pengajar Muda. Bunga merupakan pintu gerbang Taman Nasional Betung Kerihun, dimana Dayak Punan merupakan suku yang mendiami daerah tersebut. Durasi perjalanan dari ibukota kabupaten (Putussibau) ke Nanga Bungan sekitar 6-7 jam berlawanan dengan arus sungai, sehingga kami harus melewati kondisi medan yang penuh jeram (riam). Cuaca yang awalnya siang terik itu dilalui dengan penuh canda, tawa, dan suara. Suara??? Ya, sepanjang pengarungan sampan tempel bermesin 40 pk itu kami bernyanyi untuk mengusir rasa kantuk, bosan, panas, dan rintik hujan yang akhirnya sempat mampir. Dari lagu anak-anak, soundtrack film, nostalgia, populer, sampai lagu yang bergenre alay. Hohoho...

Red sebenarnya tak asing dengan pengarungan jeram sungai, karena sudah beberapa kali melakukan arung jeram (rafting) di sungai-sungai daerah Jawa Barat. Namun pengarungan kali ini amat berbeda. Biasanya arung jeram menggunakan peralatan perahu karet dan dayung yang terbuat dari fiber. Sedang arung sungai ke Bungan ini menggunakan pengayuh dan sampan dari kayu yang ditempel mesin di bagian belakangnya. Sehingga saat berhadapan dengan tingkat jeram sulit, akan didapat sensasi melawan arus jeram tersebut, walaupun nantinya perahu pun akan terbawa ke pinggir sungai tempat bebatuan berbaris. Yeah, memang diperlukan skill khusus untuk mengendarai sampan tempel di karakter sungai seperti ini, karena jeram sungainya cukup deras dan berbahaya ditambah dengan banyak batuan yang menghadang di pinggir maupun tengah jalan air.
SD Bungan Jaya
Pose di Riam Bakang
Waktu kunjungan singkat harus berakhir dalam 3 hari 2 malam. Sebenarnya masih ingin tinggal, karena belum sampai ke desa Tanjung Lokang, dan belum merasakan sensasi menjelajah hutan hujan tropis TNBK. Namun, kondisi transportasi yang sulit dan banyaknya aktivitas yang menunggu di desa dari masing-masing rekan juga red sendiri, ya... dengan berat hati kami meninggalkan Bungan Jaya. Mungkin nanti Red akan kembali, karena sempat mandi di sungai Kapuas di sana. Konon bila kita mandi di sungai Kapuas, maka suatu saat akan kembali ke tempat tersebut. Amin... Thx again & always to God karena telah diberi kesempatan untuk menjelajah Indonesia di Kapuas Hulu ini. 

KUMPULAN DANAU SURGA DARI PUNCAK SEMUJAN (TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM)

Setahun berada jauh dari tanah kelahiran tak Red sia-siakan begitu saja. Selain berusaha meninggalkan jejak pengabdian di desa penempatan mengajar, langkah kaki pun mencari-cari keindahan alam Borneo yang patut untuk dikunjungi. Sebenarnya tuk menikmati indah alam Borneo tak perlu jauh-jauh melangkahkan kaki. Desa penempatan cukup menyajikan cantiknya matahari terbit juga tenggelam, barisan lanting (jamban di permukaan sungai) sepanjang sungai yang dilihat dari atas jembatan pun asik untuk dinikmati, belum lagi suguhan malam yang seringkali memperlihatkan ribuan bintang ataupun Purnama aduhai yang memanjakan mata. Tak habis-habisnya bertutur syukur atas keajaiban-keajaiban alami sederhana di atas. Kata syukur pun makin membuncah tatkala bulan Desember 2011 Red berkesempatan mengunjungi Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang masih dalam area Kabupaten Kapuas Hulu tempat Red ditugaskan mengajar. Jaraknya cukup jauh dari desa Red, karena untuk mencapai kawasan TNDS Red harus bersampan menuju ke hulu Sungai Palin, lalu berpindah ke aliran Sungai Nyabau yang mengaliri Desa Nanga Nyabau dimana suku Dayak Taman merupakan empu tanah tersebut. Dari Nanga Nyabau perjalanan dilanjut dengan minibus (biasa disebut oplet) sampai Tanjung Kerja dengan sapa ramah dari Bang Ad sang pengemudi. Timing tiba di Tanjung Kerja perlu dipersiapkan, karena bus yang perlu dinaiki selanjutnya lewat pada pukul 12 siang. Bus ini berjurusan Putussibau – Badau, penumpang perlu menyiapkan masker dan kacamata atau apapun yang bisa melindungi wajah dari terbangan debu yang tersebar di sepanjang jalan. Hmmm, debu yang menempel di pakaian mungkin sudah setebal ½ senti saat sampai di tempat tujuan. That’s why Red told you to bring mask or glasses.
Lanjak, yang masuk dalam kecamatan Batang Lupar dan merupakan tempat utama pelaksanaan acara Festival Danau Sentarum tahun 2011 menjadi area peristirahatan kami sebelum meluncur ke Kawasan TNDS. Oh ya, petualang kali ini berjumlah 5 orang, terdiri dari 4 Pengajar Muda (termasuk Red) dan 1 orang kawan Penyuluh Pertanian Muda. Kebetulan salah seorang rekan Pengajar Muda memang ditempatkan di desa area TNDS, jadi tujuan utama kami adalah ke desa tersebut (Semalah). Dari Lanjak menuju Semalah perlu menyebrangi luasnya Danau Luar (Salah satu nama danau di TNDS) dan hal tersebut tak bisa dilakukan sore hari, karena menjelang malam gelombang danau akan membesar sehingga dapat mengaramkan sampan-sampan yang lewat di atasnya. Dengan alasan keamanan tersebut, kami lebih memilih bermalam dahulu di Lanjak. Red tak menyesal berlama-lama di Lanjak, karena kami disuguhkan beberapa pohon rambutan di belakang rumah dengan jenis dan warna yang berbeda. Ada jenis Klotok, Bletik, Malaysia, dll :D. Melihat pohon rambutan dengan ratusan buah yang ranum, naluri manjat Red yang sudah lama tak memanjat tebing atau papan panjat buatan timbul kembali. Yeah, cara asik menikmati rambutan adalah dengan memakan isinya di atas pohon dan menyisakan kulitnya untuk orang-orang yang menunggu jatuhan atau lemparan buah di bawah. Hahaha, dan itulah yang Red lakukan!!! Selain pohon rambutan, sensasi alam lain dari Lanjak adalah keindahan bukitnya dan bonus mandi di sungai jernih berbatu (padahal biasanya mandi di Kapuas atau cabang-cabangnya yang warna airnya agak keruh). Satu lagi yang keren, dari sebuah gereja yang berdiri di kaki bukuit Lanjak kami juga dihamparkan keindahan Danau Luar yang mengepung sebuah Pulau kecil bernama Melayu. Pulau dimana kami berpijak keesokan hari. Esok hari tiba, beberapa warga dari Desa Semalah siap membawa kami ke tengah danau. Sebelum pasukan berangkat, beberapa anggota menyempatkan diri memburu Milo (minuman berenergi) buatan Malaysia yang banyak dijual di Pasar Lanjak. Penasaran dengan rasa Milo Malaysia yang konon lebih enak daripada buatan Indonesia, Red pun membeli kemasan kecil seberat 250 gram dengan harga 15 ribu rupiah. Memang sih rasa coklat Milo Malay lebih terasa dan wanginya pun lebih nikmat, namun tetap ah Red membela produk lokal. Selain kita, siapa lagi yang akan mengkonsumsi barang buatan Indonesia! Cintai produk dalam negeri ;). Tret tet tet... Petualangan pun dimulai! Starting point is Danau Luar exploring. Ditemani bukit menjulang di sekeliling danau, sampan dengan mesin tempel 15 pk kami membelah Danau Luar menuju Pulau Melayu. “Kurang terjaga” cukup mewakili gambaran Pulau Melayu. Masih banyak pengunjung melakukan vandalisme (mencoret-coret tembok) pada bangunan seperti pendopo yang berdiri di sana. Namun, itu hanya salah satu hal negatif yang disebabkan oleh pengunjung. Pulau ini tetaplah menawan. You can take some picture on the edge of the beach. Barisan bukit sekitar pulau menunjukkan keindahan dan hal itu tampak dari Pulau Melayu. Sayang pula untuk melewatkan gigitan ikan-ikan kecil yang menyerang jika bermain di daerah dangkal tak jauh dari tepi pulau. Selepas Pulau Melayu, pasukan kembali melanjutkan pengarungan danau menuju Desa Semalah. Di tempat tujuan pun kami disambut dengan sapa ramai warga dan teriakan selamat datang dari anak-anak yang diajar oleh rekan PM kami di sekolahnya. Sambutan warga benar-benar mengena di hati, baru sampai saja kami langsung diberikan 2 ikan Tuman besar dan pucuk daun ubi (singkong) untuk disayur. Yup, di Kapuas Hulu singkong memang disebut ubi, sedangkan ubi sendiri disebut abok. Tak salah lagi, makan malam saat itu terasa nikmat dengan menu ikan Tuman goreng dan daun singkong rebus, yummy...
Esok hari lagi adalah puncak dari perjalanan TNDS, semua setuju rencana diarahkan untuk mendaki bukit Semujan (masih dalam kawasan TNDS). Konon dari puncak bukit tersebut dapat terlihat keseluruhan danau di kawasan TNDS. Hmmm... Can’t wait to see it! Serunya perjalanan kali ini adalah selalu menggunakan jalur sungai dan buanyak sekali warga yang ikut dalam pendakian, sampai-sampai sampannya full. Semalah – Semujan sekitar 2 jam perjalanan, menyenangkan karena handphone penuh dengan sinyal. Saat mendaki pun penuh tantangan! Dimulai dari dimintanya simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi) oleh seorang polisi hutan di pos penjagaan, seorang rekan yang nge-drop dan memutuskan tidak ikut mendaki, banyaknya batuan berbentuk unik sepanjang pendakian (ada batu jari, tebing-tebing keren, dll), sampai jalur mendaki yang 90 derajat (benar-benar harus memanjat). Hehehe, senaaang!!! Tantangan tersebut terbayar dengan view puncak Semujan yang well, it’s a real heaven peak. Danau-danau di bawah bukit sudah seperti permadani dari surga, kemanapun mata memandang akan terlihat danau-danau yang ada di kawasan TNDS. Betah berlama-lama memanjakan mata di puncak Semujan, plus sinyal handphone yang memang penuh membuat rasa puas tersebut bisa dibagi dengan orang-orang terkasih di daerah nun jauh dari Pulau Kalimantan. Puas!!! Satu kata yang menggambarkan perasaan Red setelah plesir ke Taman Nasional Danau Sentarum. Selain alam yang indah, di sana juga masih banyak terdapat satwa liar yang harus dijaga kelestariannya. Contohnya orangutan, yang disebut maias oleh warga lokal. Keberadaannya selalu dipantau oleh pihak Taman Nasional. Kebetulan pasukan Red bertemu dengan beberapa staff Taman Nasional yang sedang memonitoring keberadaan satwa tersebut di Semujan. Yeah, dengan menjaga satwa yang ada di dalamnya, itupun akan menjaga ekosistem dan keseimbangan di alamnya. Hidup alam Indonesia!!!

Friday, March 25, 2011

Rumah Hantu (pertama & kalau bisa yang terakhir)

Well, of course... It was a silly thing!!!

Berawal dari berkumpulnya sahabat-sahabat Red semasa kelas 1.5 di SMU (Lulu, Ani, Ayu, & Chintya)untuk memperingati seperempat abadnya Ani, tentu saja diisi dengan traktiran si Nona Ani. Ani memilih untuk makan-makan di daerah Bekasi, Bekasi Square lebih tepatnya. Kebetulan di saat yang sama sedang diadakan Wahana hantu yang bernama "Pondok Hantu Makam Kota Tua".

Red sebenarnya hanya iseng berkata ingin sekali-sekali masuk rumah hantu, dan entah mengapa mereka pun tertarik untuk melakukan uji nyali di sana. Hehehe... Cring! keluarlah uang Rp. 10.000 dari kantong kami masing-masing. Harga tiket masuk Rp. 20.000 untuk 2 orang, kami pun bergabung dengan 1 orang dari rombongan lain untuk menggenapkan pembayaran (tetep gak mau rugi!). Saat antri masuk ke wahana, dipasang speaker yang sepertinya sih, suaranya itu diambil dari pengunjung yang sedang berkelana di dalam rumah hantu. Sudah dapat dipastikan, yang keluar adalah suara-suara jeritan dan teriakan histeris dari pengunjung. Hiii... Excited gimanaaa gitu dengernya! Kami pun menemukan 1 fenomena lagi di antrian ini. Setelah melihat kesana kemari sepanjang antrian masuk, kok kelihatannya kami berlima itu pengunjung paling tua yak... ~_~" Secara memang yang biasanya tertarik dengan hal-hal sepert ini kan anak-anak ABG yang notabene masih SMP atau SMA. Kami menyadari hal itu kok, tapi kan tidak ada salahnya tho, mumpung kami berlima bisa kumpul bareng. Harus ada hal seru yang membuat peristiwa hari ini kami ingat.


Jeng...Jeng...Jeng!!! Tibalah waktunya kami masuk ke wahana. Mulai melewati pintu masuk (bentuknya dibuat menyerupai gua), kami sempatkan berfoto di situ :D Ternyata di depan masih ada pintu kedua, berupa ruangan terbuka untuk menyiapkan mental kami masing-masing sebelum memasuki rumah hantu yang sebenarnya. Lucunya, di sini Ayu melihat tulisan "Dilarang mengambil gambar dan memukul hantu" hahaha... Di ruang peralihan ini juga terdapat sekumpulan anak lelaki yang takut-takut untuk memasuki ruang hantu. Sampai akhirnya kami mendahului, dengan salah satu dari mereka berkata "belom tau aja tuh mereka". What? Belum tau apa... Huh, dasar lelaki penakut kalian semua!

Gelap... Kesan pertama Red masuk (ya iyalah, namanya juga rumah hantu). Posisi terdepan diambil oleh Chintya yang sudah ditempeli Ani & Ayu. Jadilah Red & Lulu menjadi orang terbelakang. Lompat sambil lari-lari kecil dan berkata "Hwaaa..." pun sempat Red lakukan saat pertama kali melihat hantu jongkok yang berdiri saat kami lewat. Konyoool!!! Lulu dengan asiknya komentar, Wie jangan lari dong! Sepertinya dia juga takut ditinggal di belakang sendirian. Hehehe (ngeles.com)! Selanjutnya, ada hantu gendong anak yang sepertinya mengikuti Red & Lulu, hantu itu pun beberapa kali menyenggol Red. Memang dasarnya ndak suka disentuh-sentuh, Red teriak "Eh, gw gak suka ya dipegang-pegang" dan berhasil... Hantu itu berhenti dorong-dorong dan mengikuti kami. Setelahnya, Red kurang aware dengan hantu lainnya, karena memang kondisi dalam ruang yang sangat gelap. Hantunya pun kurang terlihat dengan jelas. Sampailah kami di dekat pintu keluar, ada 2 hantu yang memaksakan diri menakuti dengan mengeluarkan lidahnya. Huh, gak nyeremin! Red pun memberi lambaian tangan saat hendak keluar dari pintu. Sudah di luar pintu, tebak apa yang kami lakukan? Tertawa terbahak! Sambil membahas teriakan Red di dalam tadi, dan mengutuki diri kami yang sempat agak-agak ketakutan saat hendak masuk.

Hmmm, Red pikir inilah rumah hantu pertama, dan terakhir yang dimasuki. Besok-besok udah males deh masuk rumah hantu lagi... Oh ya, maaf untuk Ani. Red janji ndak akan upload foto kami dalam rumah hantu di FB, namun tak tahan untuk tidak memasukkannya di blog ini. Red gak ingkar janji dong! Hihihi...

Tuesday, March 8, 2011

Berlumpur ria di gua vertikal Buniayu

Trip yang sudah didengung-dengungkan sekitar 2 bulan, akhirnya terealisasi tanggal 5 Maret 2011. Masih bersama pasukan ProFauna sekitar Bekasi, kali ini plus Bedul (anak GMC, adik kelas Red). Pasukan di mobil berjumlah 7 orang dewasa dan 2 bocah pitik (Anu & A'ay buntutnya Bu Ir). Start dari Bekasi tanggal 4 Maret pukul 10 malam. Kondisi jalan malam Sabtu, wah ampun macetnya! Pukul 2 dini hari pasukan baru mencapai kawasan Cicurug, sekitar Lido. Itupun dengan kondisi perut kelaparan, sehingga kami mlipir nongkrong di sebuah warkop untuk mengganjal perut yang sudah keroncongan, tentunya dengan mata yang juga terkantuk-kantuk. Pukul 4 pasukan tiba di Wahana wisata "Gua Buniayu", dengan arahan dari Pak Kakay, contact person aktivitas caving kami. Sebenarnya disediakan sebuah rumah untuk beristirahat, harganya per malam nya Rp. 100.000 dan bisa menampung banyak orang. Namun kami memilih istirahat di mushola, karena hari sudah menjelang pagi. Hihihi... Padahal mah emang gak mau rugi, cuma istirahat beberapa jam masa mesti bayar seratus ribu. :P

Pukul 7 pasukan sudah siap dengan perlengkapan yang disiapkan dinas Perhutani yang terdiri dari wearpack, helmet, dan boot. Sayangnya senter yang ada di helmet tidak ada yang bisa digunakan. Untungnya pun, Red membawa senter kecil dan headlamp. Jadi gak bakal kesandung-sandung dalam gua. Satu-satunya penerangan yang disediakan adalah lampu karbit yang dipakai sendiri oleh pemandu. Ckckck... Egois banget dah kami gak dibagi lampunya. Hehehe!

Judulnya saja sudah gua vertikal, jadi untuk masuk ke dalamnya kami harus turun dibantu dengan tali karamantel. Ada dua teknik untuk turun ke dalam gua vertikal, pertama menggunakan Single Rope Technique (SRT)yang biasanya dikuasai para caver (penelusur gua) dan teknik dikerek (hahaha), jadi diturunin aja gt ke bawah pake tali. Nah, berhubung kami bukan caver handal dan kebanyakan baru pertama kalinya masuk gua menggunakan peralatan lengkap, jadilah kami diturunkan pelan-pelan. Itu pun masih ada aja yang takut plus agak-agak ngeri. Suasana dalam gua: gelap (pastinya!) dan lembab. Penelusuran pun dimulai... Wow, what a great stalactites!!! Stalaktit dan Canopy cantik banyak bertebaran di dinding atas dan kanan kiri gua. Red mencari istilah khusus yang lain (stalagmit), tetapi kok ndak kelihatan ya. Ooow, ternyata memang di sana agak jarang stalagmit ya, karena gua cenderung basah, bahkan banjir bila curah hujan sangat tinggi. Jadi jarang ada stalagmit yang terbentuk. Hampir sepanjang koridor gua terdapat genangan air. Jadi, sia-sia jika membuang air yang menggenang di dalam boot. Toh, beberapa meter ke depan akan ada air lagi yang mengisi sepatu boot kami ~_~"

Tengah perjalanan, ssang pemandu yang hanya seorang diri meminta waktu untuk mengganti bahan bakar karbitnya. Jadi, kami bertujuh dipersilahkan untuk beristirahat sementara waktu. Red, satu-satunya orang yang memakai head lamp bermaksud menghemat baterai dengan memadamkan lampu selagi istirahat, dan hiii... Gelap betul dalam gua tanpa penerangan apapun, hanya hitam yang terlihat di depan mata. Usut punya usut, ternyata si pemandu punya maksud mengganti bahan bakarnya yang sebenarnya belum habis. Ternyata... Trek gua yang dihadapi selanjutnya amat menantang!!! Mulai genangan air setinggi pinggang, lubang besar yang harus dilewati dengan memasang webbing, lumpur setinggi lutut, harus melewati medan dengan posisi menunduk sampai jongkok, belum lagi di akhir bagian gua kami harus menaiki tangga tali. Huuuh, agak ribet, namun tetap seruuu!!! Pake acara evakuasi sepatu boot segala... Hehehe... Yeah, sepatu Red, Mba Ir, n Ranu sempet masuk ke lumpur soalnya.

Keluar dari gua, tampang sudah ndak karuan... Tanah di sekujur badan. Dengan kondisi seperti itu, kami berjalan menuju air terjun yang posisinya tidak jauh dari Gua Buniayu. Agak lupa nama air terjunnya, nanti Red liat contekan dulu yaaa. Yang pasti, pengalaman pertama masuk gua dengan alat lengkap kali ini cukup membuat paha pegel, karena lumpur yang cukup tinggi, dan membuat para peserta semuanya terlelap di tengah perjalanan pulang, meninggalkan Bu Irma yang sedang sendirian menyetir kendaraan. Memang ya, peserta kali ini songong semuaaa...