Saturday, April 28, 2012

Nanga Bungan, gate of Betung Kerihun National Park

Ada dua Taman Nasional di Kapuas Hulu, tempat tugas Red setahun ini. Yang pertama adalah Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang sudah Red kunjungi bulan Desember 2011 lalu. Nah satu lagi adalah Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) yang letaknya di hulu Sungai Kapuas. Dari pertama datang selalu penasaran dengan bentuk Taman Nasional ini. Ditambah seorang rekan yang pernah meliput sebuah acara televisi di TNBK selalu mengompori Red untuk tak lupa berkunjung ke sana sebelum masa penugasan selesai.

Thx to God, kesempatan masuk ke kawasan TNBK datang sehari setelah Red ulang tahun. It’s like a gift from The Lord . Istimewanya kunjungan TNBK ini dilakukan bersama 10 rekan Pengajar Muda yang bertugas di Kapuas Hulu plus 1 orang officer yang sebenarnya sedang ditugaskan untuk mengevaluasi kinerja kami. Hehehe, jatuhnya jadi kunjungan kerja sih, karena selama di sana pun aktivitas kami tak jauh dari meeting dan refleksi. Namun, apapun itu namanya yang jelas Red sudah menginjakkan kaki di kawasan TNBK (tetep maksa diakui udah ke sana!). 

Riam Sungai Sekitar Desa Bungan
Desa kunjungan serombongan pasukan ini bernama Nanga Bungan. Berlokasi di hulu sungai Kapuas. Juga tempat diletakkannya salah seorang rekan Pengajar Muda. Bunga merupakan pintu gerbang Taman Nasional Betung Kerihun, dimana Dayak Punan merupakan suku yang mendiami daerah tersebut. Durasi perjalanan dari ibukota kabupaten (Putussibau) ke Nanga Bungan sekitar 6-7 jam berlawanan dengan arus sungai, sehingga kami harus melewati kondisi medan yang penuh jeram (riam). Cuaca yang awalnya siang terik itu dilalui dengan penuh canda, tawa, dan suara. Suara??? Ya, sepanjang pengarungan sampan tempel bermesin 40 pk itu kami bernyanyi untuk mengusir rasa kantuk, bosan, panas, dan rintik hujan yang akhirnya sempat mampir. Dari lagu anak-anak, soundtrack film, nostalgia, populer, sampai lagu yang bergenre alay. Hohoho...

Red sebenarnya tak asing dengan pengarungan jeram sungai, karena sudah beberapa kali melakukan arung jeram (rafting) di sungai-sungai daerah Jawa Barat. Namun pengarungan kali ini amat berbeda. Biasanya arung jeram menggunakan peralatan perahu karet dan dayung yang terbuat dari fiber. Sedang arung sungai ke Bungan ini menggunakan pengayuh dan sampan dari kayu yang ditempel mesin di bagian belakangnya. Sehingga saat berhadapan dengan tingkat jeram sulit, akan didapat sensasi melawan arus jeram tersebut, walaupun nantinya perahu pun akan terbawa ke pinggir sungai tempat bebatuan berbaris. Yeah, memang diperlukan skill khusus untuk mengendarai sampan tempel di karakter sungai seperti ini, karena jeram sungainya cukup deras dan berbahaya ditambah dengan banyak batuan yang menghadang di pinggir maupun tengah jalan air.
SD Bungan Jaya
Pose di Riam Bakang
Waktu kunjungan singkat harus berakhir dalam 3 hari 2 malam. Sebenarnya masih ingin tinggal, karena belum sampai ke desa Tanjung Lokang, dan belum merasakan sensasi menjelajah hutan hujan tropis TNBK. Namun, kondisi transportasi yang sulit dan banyaknya aktivitas yang menunggu di desa dari masing-masing rekan juga red sendiri, ya... dengan berat hati kami meninggalkan Bungan Jaya. Mungkin nanti Red akan kembali, karena sempat mandi di sungai Kapuas di sana. Konon bila kita mandi di sungai Kapuas, maka suatu saat akan kembali ke tempat tersebut. Amin... Thx again & always to God karena telah diberi kesempatan untuk menjelajah Indonesia di Kapuas Hulu ini. 

KUMPULAN DANAU SURGA DARI PUNCAK SEMUJAN (TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM)

Setahun berada jauh dari tanah kelahiran tak Red sia-siakan begitu saja. Selain berusaha meninggalkan jejak pengabdian di desa penempatan mengajar, langkah kaki pun mencari-cari keindahan alam Borneo yang patut untuk dikunjungi. Sebenarnya tuk menikmati indah alam Borneo tak perlu jauh-jauh melangkahkan kaki. Desa penempatan cukup menyajikan cantiknya matahari terbit juga tenggelam, barisan lanting (jamban di permukaan sungai) sepanjang sungai yang dilihat dari atas jembatan pun asik untuk dinikmati, belum lagi suguhan malam yang seringkali memperlihatkan ribuan bintang ataupun Purnama aduhai yang memanjakan mata. Tak habis-habisnya bertutur syukur atas keajaiban-keajaiban alami sederhana di atas. Kata syukur pun makin membuncah tatkala bulan Desember 2011 Red berkesempatan mengunjungi Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang masih dalam area Kabupaten Kapuas Hulu tempat Red ditugaskan mengajar. Jaraknya cukup jauh dari desa Red, karena untuk mencapai kawasan TNDS Red harus bersampan menuju ke hulu Sungai Palin, lalu berpindah ke aliran Sungai Nyabau yang mengaliri Desa Nanga Nyabau dimana suku Dayak Taman merupakan empu tanah tersebut. Dari Nanga Nyabau perjalanan dilanjut dengan minibus (biasa disebut oplet) sampai Tanjung Kerja dengan sapa ramah dari Bang Ad sang pengemudi. Timing tiba di Tanjung Kerja perlu dipersiapkan, karena bus yang perlu dinaiki selanjutnya lewat pada pukul 12 siang. Bus ini berjurusan Putussibau – Badau, penumpang perlu menyiapkan masker dan kacamata atau apapun yang bisa melindungi wajah dari terbangan debu yang tersebar di sepanjang jalan. Hmmm, debu yang menempel di pakaian mungkin sudah setebal ½ senti saat sampai di tempat tujuan. That’s why Red told you to bring mask or glasses.
Lanjak, yang masuk dalam kecamatan Batang Lupar dan merupakan tempat utama pelaksanaan acara Festival Danau Sentarum tahun 2011 menjadi area peristirahatan kami sebelum meluncur ke Kawasan TNDS. Oh ya, petualang kali ini berjumlah 5 orang, terdiri dari 4 Pengajar Muda (termasuk Red) dan 1 orang kawan Penyuluh Pertanian Muda. Kebetulan salah seorang rekan Pengajar Muda memang ditempatkan di desa area TNDS, jadi tujuan utama kami adalah ke desa tersebut (Semalah). Dari Lanjak menuju Semalah perlu menyebrangi luasnya Danau Luar (Salah satu nama danau di TNDS) dan hal tersebut tak bisa dilakukan sore hari, karena menjelang malam gelombang danau akan membesar sehingga dapat mengaramkan sampan-sampan yang lewat di atasnya. Dengan alasan keamanan tersebut, kami lebih memilih bermalam dahulu di Lanjak. Red tak menyesal berlama-lama di Lanjak, karena kami disuguhkan beberapa pohon rambutan di belakang rumah dengan jenis dan warna yang berbeda. Ada jenis Klotok, Bletik, Malaysia, dll :D. Melihat pohon rambutan dengan ratusan buah yang ranum, naluri manjat Red yang sudah lama tak memanjat tebing atau papan panjat buatan timbul kembali. Yeah, cara asik menikmati rambutan adalah dengan memakan isinya di atas pohon dan menyisakan kulitnya untuk orang-orang yang menunggu jatuhan atau lemparan buah di bawah. Hahaha, dan itulah yang Red lakukan!!! Selain pohon rambutan, sensasi alam lain dari Lanjak adalah keindahan bukitnya dan bonus mandi di sungai jernih berbatu (padahal biasanya mandi di Kapuas atau cabang-cabangnya yang warna airnya agak keruh). Satu lagi yang keren, dari sebuah gereja yang berdiri di kaki bukuit Lanjak kami juga dihamparkan keindahan Danau Luar yang mengepung sebuah Pulau kecil bernama Melayu. Pulau dimana kami berpijak keesokan hari. Esok hari tiba, beberapa warga dari Desa Semalah siap membawa kami ke tengah danau. Sebelum pasukan berangkat, beberapa anggota menyempatkan diri memburu Milo (minuman berenergi) buatan Malaysia yang banyak dijual di Pasar Lanjak. Penasaran dengan rasa Milo Malaysia yang konon lebih enak daripada buatan Indonesia, Red pun membeli kemasan kecil seberat 250 gram dengan harga 15 ribu rupiah. Memang sih rasa coklat Milo Malay lebih terasa dan wanginya pun lebih nikmat, namun tetap ah Red membela produk lokal. Selain kita, siapa lagi yang akan mengkonsumsi barang buatan Indonesia! Cintai produk dalam negeri ;). Tret tet tet... Petualangan pun dimulai! Starting point is Danau Luar exploring. Ditemani bukit menjulang di sekeliling danau, sampan dengan mesin tempel 15 pk kami membelah Danau Luar menuju Pulau Melayu. “Kurang terjaga” cukup mewakili gambaran Pulau Melayu. Masih banyak pengunjung melakukan vandalisme (mencoret-coret tembok) pada bangunan seperti pendopo yang berdiri di sana. Namun, itu hanya salah satu hal negatif yang disebabkan oleh pengunjung. Pulau ini tetaplah menawan. You can take some picture on the edge of the beach. Barisan bukit sekitar pulau menunjukkan keindahan dan hal itu tampak dari Pulau Melayu. Sayang pula untuk melewatkan gigitan ikan-ikan kecil yang menyerang jika bermain di daerah dangkal tak jauh dari tepi pulau. Selepas Pulau Melayu, pasukan kembali melanjutkan pengarungan danau menuju Desa Semalah. Di tempat tujuan pun kami disambut dengan sapa ramai warga dan teriakan selamat datang dari anak-anak yang diajar oleh rekan PM kami di sekolahnya. Sambutan warga benar-benar mengena di hati, baru sampai saja kami langsung diberikan 2 ikan Tuman besar dan pucuk daun ubi (singkong) untuk disayur. Yup, di Kapuas Hulu singkong memang disebut ubi, sedangkan ubi sendiri disebut abok. Tak salah lagi, makan malam saat itu terasa nikmat dengan menu ikan Tuman goreng dan daun singkong rebus, yummy...
Esok hari lagi adalah puncak dari perjalanan TNDS, semua setuju rencana diarahkan untuk mendaki bukit Semujan (masih dalam kawasan TNDS). Konon dari puncak bukit tersebut dapat terlihat keseluruhan danau di kawasan TNDS. Hmmm... Can’t wait to see it! Serunya perjalanan kali ini adalah selalu menggunakan jalur sungai dan buanyak sekali warga yang ikut dalam pendakian, sampai-sampai sampannya full. Semalah – Semujan sekitar 2 jam perjalanan, menyenangkan karena handphone penuh dengan sinyal. Saat mendaki pun penuh tantangan! Dimulai dari dimintanya simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi) oleh seorang polisi hutan di pos penjagaan, seorang rekan yang nge-drop dan memutuskan tidak ikut mendaki, banyaknya batuan berbentuk unik sepanjang pendakian (ada batu jari, tebing-tebing keren, dll), sampai jalur mendaki yang 90 derajat (benar-benar harus memanjat). Hehehe, senaaang!!! Tantangan tersebut terbayar dengan view puncak Semujan yang well, it’s a real heaven peak. Danau-danau di bawah bukit sudah seperti permadani dari surga, kemanapun mata memandang akan terlihat danau-danau yang ada di kawasan TNDS. Betah berlama-lama memanjakan mata di puncak Semujan, plus sinyal handphone yang memang penuh membuat rasa puas tersebut bisa dibagi dengan orang-orang terkasih di daerah nun jauh dari Pulau Kalimantan. Puas!!! Satu kata yang menggambarkan perasaan Red setelah plesir ke Taman Nasional Danau Sentarum. Selain alam yang indah, di sana juga masih banyak terdapat satwa liar yang harus dijaga kelestariannya. Contohnya orangutan, yang disebut maias oleh warga lokal. Keberadaannya selalu dipantau oleh pihak Taman Nasional. Kebetulan pasukan Red bertemu dengan beberapa staff Taman Nasional yang sedang memonitoring keberadaan satwa tersebut di Semujan. Yeah, dengan menjaga satwa yang ada di dalamnya, itupun akan menjaga ekosistem dan keseimbangan di alamnya. Hidup alam Indonesia!!!